CURRENCY
USD
|
14,865.00 |
14,865.000 |
AUD
|
10,236.34 |
10,236.340 |
HKD
|
1,894.37 |
1,894.370 |
MYR
|
3,375.83 |
3,375.830 |
NZD
|
9,275.76 |
9,275.760 |
NOK
|
1,505.48 |
1,505.480 |
GBP
|
18,089.52 |
18,089.520 |
SGD
|
10,687.17 |
10,687.170 |
CHF
|
15,533.89 |
15,533.890 |
JPY
|
10,944.31 |
10,944.310 |
MMK
|
8.08 |
8.080 |
INR
|
188.60 |
188.600 |
KWD
|
48,464.03 |
48,464.030 |
PKR
|
72.29 |
72.290 |
PHP
|
270.59 |
270.590 |
LKR
|
41.26 |
41.260 |
THB
|
420.86 |
420.860 |
BND
|
10,700.27 |
10,700.270 |
EUR
|
15,591.30 |
15,591.300 |
CNY
|
2,219.01 |
2,219.010 |
KRW
|
11.50 |
11.500 |
Last update: 06/07/22 11:32:33
1 troy oz |
=
|
31.10 gram |
1 US bushel (bu) |
=
|
35.24 liter |
1 barrel (bbl) |
=
|
158.97 liter |
|
Pelajari Baik Hutan Maupun Pepohonannya
posted by admin on 03/11/06
Kegagalan yang memalukan ini dapat terjadi karena para eksekutif Coke membiarkan terbentuknya sebuah cacat di dalam pemikiran mereka.
Bahkan jika anda melihat ke tempat yang tepat, anda masih dapat terkecoh jika anda tidak melihatnya dari perspektif yang tepat. Hal ini dialami oleh para eksekutif Coke ketika mereka melawan Pepsi yang menawarkan rasa yang lebih enak. Di pertengahan 1980, Pepsi Cola Company meluncurkan iklan ”Pepsi Challenge” yang sangat sukses dimana konsumen selalu memilih Pepsi, bukan Coca Cola, saat melakukan ”blind test” (konsumen diberi kesempatan untuk mencicipi Pepsi dan Coca Cola tanpa mengetahui merek mana yang mereka minum-red). Sementara pangsa pasar Pepsi terus meningkat, para eksekutif Coke mulai mengembangkan formula cola yang memiliki rasa lebih enak yang dapat mengalahkan Pepsi.
Para ilmuwan Coke bekerja siang dan malam, mencampur berbagai formula baru dan menyelenggarakan tes rasa secara sangat rahasia. Akhirnya mereka menemukan sebuah formula dimana konsumen benar-benar lebih menyukainya dibanding Pepsi. Segera setelah para ilmuwan Coke merayakan ”kemenangannya”, eksekutif Coke dengan cepat menarik Coke tradisional dari pasar dan menggantikannya dengan Coke baru (New Coke).
Para konsumen Coke yang loyal berontak. Mereka membanjiri kantor pusat Coke di Atlanta dengan beribu-ribu surat protes dan bahkan tuntutan hukum. Kata seorang konsumen, ”Saya pikir saya tidak akan lebih marah jika bendera negara kita dibakar di halaman depan”.
Para eksekutif Coke tentu saja terkejut dengan reaksi yang diluar dugaan ini. Tetapi mereka tetap kukuh dengan inisiatif mereka dan akhirnya terlambat meluncurkan kembali Coke tradisional ke rak-rak toko dengan label baru ” Coke Classic”. Pada saat itu penjualan Coke anjlok ke titik terendah dengan pangsa pasar hanya 2,3%, di tengah fakta yang tidak terpungkiri bahwa studi membuktikan New Coke menawarkan rasa yang lebih enak dibanding Coke tradisional dan Pepsi saat ”blind test”.
Kegagalan yang memalukan ini dapat terjadi karena para eksekutif Coke membiarkan terbentuknya sebuah cacat di dalam pemikiran mereka. Mereka tidak memperhitungkan kesukaan pribadi para konsumen yang loyal dimana Coke sendiri selama berpuluh-puluh tahun telah membentuk imej produknya secara sangat kuat di benak konsumen.
Nyatanya sistem yang terbentuk dari pola-pola yang diciptakan di dalam pikiran akan mempengaruhi apa yang kita rasakan. Hal ini dibuktikan oleh the Wall Street Journal yang mensponsori tes terhadap konsumen untuk mencicipi cola-cola tidak bermerek, termasuk di dalamnya adalah Pepsi dan Coke. Kebanyakan konsumen Coke pada awalnya percaya mereka akan dapat dengan mudah mengidentifikasi merek favoritnya ini. Setelah menjalani tes, 70% dari mereka gagal yaitu mereka menganggap cola yang mereka cicipi dan lebih enak rasanya adalah Coke, padahal nyatanya adalah Pepsi. Anehnya mereka cenderung defensif. Mereka tetap bertahan bahwa Coke lebih enak dari Pepsi walaupun tes menunjukkan mereka mencicipi Pepsi yang mereka sendiri bilang lebih enak daripada Coke. Pikiran mereka ternyata menolak indera pengecap mereka yang berkata sebaliknya pada saat menjalani tes.
Kegagalan ”New Coke” seharusnya tidak terjadi jika para eksekutif Coke terlebih dulu melakukan eksplorasi terhadap persepsi konsumennya. Daripada memfokuskan usaha mereka untuk menemukan formula yang dapat mengalahkan Pepsi dalam ”blind test”, mereka seharusnya melihat dalam kerangka yang lebih luas, yaitu pasar bebas dimana konsumen memilih berdasarkan merek-merek yang beredar. Mereka juga seharusnya mencek apa reaksi para konsumen Coke tradisional yang loyal jika produk favorit mereka hilang dari pasaran.
Pikiran perseptif akan menggunakan pandangan berdasarkan realitas dengan cakupan yang luas. Diibaratkan seperti seorang penyerang utama dalam pertandingan sepak bola, dia akan melihat lebih jelas keadaan lapangan pertandingan dan musuh di depannya dibanding pemain lainnya. Seperti juga Mozart, sebelum dia menuliskan komposisinya di atas kertas, dia telah membayangkan sebelumnya seluruh musik yang akan diciptakannya di kepalanya. Intinya, mereka akan melihat seluruh bagian, tidak sepotong-sepotong.
Kebanyakan pendidikan dan pelatihan pekerjaan konvensional mengajarkan kita untuk memecah problem menjadi bagian-bagian yang dapat dicari solusinya masing-masing, karenanya kita harus melakukan banyak tugas yang bersifat analitis. Faktanya, kata ”analisa” berarti memecah menjadi bagian-bagian lebih kecil. Tetapi proses penyempitan pemikiran tersebut dapat menyebabkan kita kehilangan konteks yang lebih besar yang menaungi sebuah keputusan atau masalah. Pemikir perseptif akan berusaha keras untuk melihat baik bagian-bagian yang lebih kecil maupun jumlah dari bagian-bagian tersebut. Mereka akan mencari pola-pola, akan melibatkan dirinya dalam ”permainan kombinasi (combinatory play)”, seperti yang dikatakan Einstein. Pikiran perseptif mencari detil dan kemudian menggunakannya sebagai alat bantu untuk dapat melihat keseluruhan sistem yang dibentuk oleh detil-detil tersebut. Begitu anda dapat melihat sistem secara keseluruhan, anda dapat memecahnya menjadi detil sehingga akan diperoleh pengertian yang lebih baik dari masing-masing bagian yang ada. Pohon akan memperjelas persepsi mengenai hutan, sedangkan hutan akan memperkuat persepsi mengenai pohon.
Oleh Charles W. McCoy, Jr., pengarang buku : Why Didn’t I Think Of That?
Previous News |
Next News
Current Rating: 0.000 (0 users)
Rate this news:
|
|